MAKALAH “PRASANGKA”
( Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu
Mata Kulia Psikologi Sosial )
Disusun Oleh :
1. Akhmad Yulianto Ardiyansyah
2. Fitri Fazriah
3. Gracia Maria Loemongga
4. Putri Sarah Aritonang
5. Siti Muthia
6. Sri Kijang Hartini
PRASANGKA
A. Prasangka
dan Diskriminasi : Sifat dan Sumbernya
1. Prasangka (Wujud dari Ketiadaan Toleransi)
Prasangka adalah sebuah sikap
(biasanya negative) terhadap anggota kelompok tertentu, semata berdasarkan
keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut. Dengan kata lain, seseorang yang memiliki prasangka
terhadap kelompok sosial tertentu cenderung mengevaluasi anggotanya dengan cara
yang sama semata karena mereka anggota kelompok tersebut.
Ketika prasangka didefenisikan sebagai
tipe khusus dari sikap, dua implikasi mengikutinya. Pertama, sikap sering kali
berfungsi sebagai skema yaitu kerangka pikir kognitif untuk mengorganisasi,
menginterpretasi, dan mengambil informasi. Kedua, sebagai sebuah sikap,
prasangka juga melibatkan perasaan negative atau emosi pada orang yang dikenai
prasangka ketika mereka hadir atau hanya memikirkan anggota kelompok yang tidak
mereka sukai. Prasangka juga dapat dilakukan secara eksplisit-prasangka dapat
dipicu secara otomatis dengan mendatangkan anggota kelompok yang akan ditujukan
prasangka. Dan dapat mempengaruhi tingkah laku yang muncul bahkan ketika orang
yang bersangkutan pada umumnya tidak menyadari eksistensi tersebut dan mungkin
berusaha untuk menyangkalnya.
Mengapa secara khusus orang memiliki
pandangan prasangka? Dan apa keuntungan yang mereka peroleh dengan memilikinya?
Dari hasil penelitian tentang prasangka tersebut ada dua kesimbulan yang
menyebabkan mengapa dan apa keuntungan dari prasangka tersebut, yaitu:
Pertama, secara individu, mereka memiliki
prasangka karena dengan melakukannya mereka meningkatkan citra diri mereka
sendiri. ketika individu yang berprasangka memandang rendah sebuah kelompok
yang dipandangnya negative, hal ini membuat mereka yakin akan harga diri mereka
sendiri yaitu untuk meresa superior dengan berbagai cara. Dengan kata lain,
pada beberapa orang, prasangka dapat memainkan beberapa peran penting untuk
melindungi atau meningkatkan konsep diri mereka.
Alasan kedua yaitu untuk memiliki
pandangan prasangka adalah karena dengan melakukan hal tersebut kita dapat
menghemat usaha kognitif. Stereotip, secara khusus, tampaknya melakukan fungsi
ini. Ketika stereotip terbentuk, kita tidak perlu melakukan proses berpikir
yang hati-hati dan sistematis, lagipula, karena kita “tahu” seperti apakah
anggota kelompok ini, kita dapat melakukan proses berpikir yang lebih cepat
berdasarkan dorongan proses heuristik dan semua keyakinan yang telah dimiliki sebelumnya. Jadi,
kecenderungan kita yang kuat untuk menghemat usaha mentaltampaknya menjadi satu
alasan lain mengapa prasangka dibentuk dan tetap ada.
2. Diskriminasi (Perwujudan Prasangka dalam
Tingkah Laku)
Diskriminasi adalah tingkah laku
negative yang ditujukan kepada anggota kelompok sosial yang menjadi objek
prasangka. Misalnya aksi seperti membatasi tempat duduk bagi anggota
kelompok-kelompok tertentu di bus atau di bioskop atau membatasi mereka di
restoran umum.[1][1]
Menurut pemakalah, diskriminasi bisa
terjadi dimana saja baik itu didalam keluarga, disekolah maupun di lingkungan
sosial. Kita bisa mengambil sebuah contoh diskriminasi yang sering terjadi di
lingkungan masyarakat yaitu, banyaknya gang atau kelompok-kelompok tertentu,
seperti gang motor misalnya. Mereka menganggap bahwa mereka adalah yang paling
hebat diantara geng-geng yang lain. Kemudian para geng motor ini juga memiliki
prasangka terhadap geng motor yang lain dan pastinya dapat menimbulkan
diskriminasi terhadap anggota geng yang lain bila daerah kekuasaannya diganngu.
Bentuk diskriminasi ada yang
diekspresikan secara ekstrem seperti diatas kdan ada juga dalam
bentuk diskriminasi halus atau samar, yaitu:
·
Rasisme Modern: Lebih Halus, Tetapi Sama
Mematikan
Rasisme ini berusaha menutup-nutupi
prasangka ditempat-tempat umum, tetapi mengekspresikan sikap-sikap mengecam
ketika hal itu aman dilakukan, sebagai contoh, mereka berbagi pandangan
tersebut kepada teman dekat dan anggota keluarga yang dikenal. Sebagai
tambahan, hal ini melibatkan berbagai atribusi pandangan dogmatis pada sumber
selain prasangka, walaupun mereka sebenarnya berakar dari sumber ini. Sebagai contoh, seorang individu
dapat menyatakan bahwa ia menentang perkawinan antarras karena anak-anak hasil
perkawinan tersebut dapat mengalami banyak kesulitan. Nyatanya,
pandangan-pandangan tersebut berakar dari prasangka dan keyakinan bahwa anggota
dari kelompok ras atau etnid tertentu yang berbeda dari sudut pandang si
pembicara lebih rendah dari berbagai hal.
·
Mengukur Sikap Rasial Implisit: Dari “The
Bogus Pipeline” Sampai “The Bona Fide Pipeline”.
The Bogus Pipeline adalah satu teknik
untuk mempelajari sikap rasial dan bentuk prasangka lain. Artinya dalam
prosedur ini, kepada partisipan penelitian dikatakan dikatakan bahwa mereka
akan dihubungkan pada alat khusus yang dapat mengakses opini mereka yang
sebenarnya, apapun yang akan mereka katakana, dengan mengukur perubahan kecil
pada otot-otot mereka (gelombang otak atau reaksi lain), untuk meyakinkan
responden bahwa hal ini sungguh-sungguh, peneliti menanyakan pandangan mereka
terhadap isu yang sudah diketahui (contoh, karena mereka telah
mengekpresikannya beberapa minggu sebelumnya). Kemudian peneliti “membaca”
mesin dan melaporkan pandangan ini pada partisipan yang sering kali cukup
terkesan. Pada saat mereka yakin bahwa mesin, dengan cara tertentu mampu
“melihat dalam diri mereka” maka tidak ada alasan untuk menutup-nutupi sikap
mereka yang sesungguhnya. Kemudian diasumsikan bahwa respons mereka pada
pertanyaan atau skala sikap mereka cukup jujur dan memberikan gambaran sikap
mereka yang akurat, termasuk berbagai bentuk prasangka.
Bona Fide Pipeline adalah sebuah
teknik yang menggunakan priming untuk mengukur sikap rasial implisit. Berbeda
dengan The Bogus Pipeline, prosedur ini melibatkan beberapa tahap. Pertama,
partisispan melihat berbagai kata sifat dan diminta untuk mengindikasikan
apakah mereka memiliki arti “baik” atau “buruk” dengan menekankan salah satu
dari dua tombol. Dalam tahap kedua, partisipan penelitian melihat foto orang
yang termasuk dalam berbagai kelompok etnis atau rasial. Kemudian, tahap
ketiga, sekali lagi mereka melihat foto dan diminta untuk mengindikasikan
apakah mereka telah melihat atau belum pernah melihatsebelumnya tiap foto
tersebut. setengah dari foto tersebut adalah foto yang pernah mereka lihat
sementara setengahnya adalah foto yang yang belum pernah mereka lihat. Akhirnya
dalam tahap keempat dan krusial tahp yang melibatkan priming, sekali lagi
partisipan diminta untuk mengindikasikan apakah kata-kata sifat tersebut
memiliki arti “baik” atau “buruk”. Namun, sebelum melihat setiap kata sifat
tersebut, mereka secara cepat dihadapkan pada wajah orang-orang yang termasuk
dalam berbagai kelompok rasial (kulit hitam, putih, Asia, Hispanik). Dasar
pemikirannya, sikap rasial implisit akan tersingkap oleh seberapa cepat
partisipan berespons pada kata-kata tersebut.
·
Tokenisme: Keuntungan Kecil, Biaya Tinggi
Tokenisme ini adalah cara lain dimana
diskriminasi terjadi dalam dunia modern. Bayangkan anda dikontrak untuk sebuah
pekerjaan yang sangat anda inginkan dan dengan bayaran awal yang lebih tinggi
daripada yang anda harapkan. Pertama kali, anda merasa senang melihat
keberuntungan anda. Sekarang bayangkan suatu saat anda mengetahui bahwa anda
memperoleh keberuntungan anda hanya karena anda adalah anggota dari kelompok
tertentu, kelompok dimana anggotanya harus dipekerjakan oleh perusahaan untuk
menghindari tuduhan diskriminasi. Bagaimana reaksi anda? Dan bagaimana perasaan
pegawai lain dalam perusahaan anda, yang mengetahui bahwa andadikontrak untuk
alasan tersebut, akan memandang anda? Untuk pertanyaan pertama, hasil
penelitian menunjukkan bahwa banyak orang menganggap bahwa situasi ini cukup
mengganggu. Mereka kecewa saat menyadari bahwa mereka telah dipekerjakan atau
dipromosikan hanya karena latar belakang etnis mereka, gender, atau aspek
identitas pribadi mereka lainnya. Lebih jauh lagi, mereka mungkin keberatan
dipekerjakan sebagai sebuah token anggota kelompok rasial, etnis, atau
religious mereka.
B. Sumber Prasangka: Perbedaan Pandangan
- Konflik
Langsung Antarkelompok: Kompetisi Sebagai Sumber Prasangka
Ide motivasional kedua menyatakan
bahwa prasangka berasal dari persaingan antar kelompok. Ide ini mengasumsikan
bahwa masyarakat terdiri dari kelompok-kelompok yang berbeda-beda dalam hal
kekuasaan, sumber daya ekonomi, status sosial, dan atribut lainnya. Kelompok
dominan termotivasi untuk menjaga posisi dominannya, dan kelompok bawahan
termotivasi untuk mereduksi kesenjangan ini. Persaingan ini menimbulkan konflik
antar kelompok dan karenanya melahirkan prasangka.[2][2]
Teori Konflik Realistik (realistic
counflict theory), menurut pandangan ini, prasangka berakar dari kompetisi
antar-kelompok sosial, untuk memperoleh komoditas berharga atau kesempatan..
pendeknya prasangka berkembang dari perjuangan untuk memperoleh pekerjaan,
perumahan yang layak, sekolah yang baik, dan hasil lain yang diinginkan. Teori
tersebut lebih jauh lagi menyatakan bahwa kompetisi seperti itu terus
berlanjut, anggota kelompok yang terlibat didalamnya mulai memandang satu sama
lain dalam pandangan negative yang terus meningkat (White, 1977), mereka
memberi label satu sama lain sebagai “musuh”, memandang kelompok mereka sendiri
superior secara moral, dan menarik garis batas antara mereka dan lawan
merekalebih tegas. Hasilnya, apa yang dimulai dengan kompetisi sederhana yang
relative bebas dari rasa benci berkembang secara bertahap dalam skala penuh,
prasangka dengan dasar emosi.
- Pengalaman
Awal: Peran pembelajaran Sosial
Berdasarkan pandangan proses belajar
sosial (social learning view), anak memperolah sikap negative melalui berbagai
kelompok sosial karena mereka mendengar pandangan tersebut diekspresikan oleh
orang tua, teman, guru, dan orang lain, dank arena mereka secara langsung
diberikan rewards (brupa cinta, pujian, dan persetujuan) untuk mengadopsi
pandangan-pandangan ini. Selain itu, dengan mengobservasi orang lain, norma
sosial yang berupa peraturan dalam sebuah kelompok yang menyatakan tindakan
atau sikap apa yang pantas dan juga penting. Orang pada umumnya memilih untuk
mematuhi sebagian besar norma sosial dalam kelompok dimana mereka berada.
Perkembangan dan ekspresi prasangka terhadap orang lain sering berakar dari
kecendungan ini. “jika anggota kelompok saya tidak menyukai mereka,” anak-anak
akan membangun alasan: “maka saya harus melakukannya juga!” (kita segera
melihat, adanya bukti bahwa jika ada anggota kelompok menyukai orang yang
berasal dari kelompok lainyang merupakan sasaran prasangka, maka hal ini
terkadang dapat mengurangi reaksi negative yang muncul.
- Kategorisasi
Sosial: Efek Kita-Versus-Mereka dan kesalahan Atribusi “Utama”
Pandangan ketiga terhadap sumber
prasangka dimulai dari kenyataan dasar bahwa pada umumnya orang membagi dunia
sosial dalam dua kategori yang berbeda, yaitu ‘kita’ dan ‘mereka’, hal ini
untuk merujuk pada kategori sosial
(social categorization). Singkatnya, mereka memandang orang lain sebagai
bagian dari kelompok mereka sendiri (in-group) atau kelompok lain (outgroup).
Perbedaan tersebut didasarkan pada banyak dimensi, beberapa diantaranya adalah
ras, agama, jenis kelamin, usia, latar belakang etnis, pekerjaan, dan
pendapatan.
Adanya kecenderungan kuat untuk
membagi dunia sosial kedalam “kita” dan “mereka” dan bagaimana hal ini mewarnai
persepsi kita terhadap kelompok-kelompok, telah ditunjukkan dalam banyak
penelitian (Stephan, 1985; Taffel, 1982; Harasty, 1997). Dalam teori identitas
sosial (social identity theory), teori ini menyatakan bahwa individu berusaha
meningkatkan self-eksteem dengn mengidentifikasikan diri dengn kelompok sosial
tertentu.
- Sumber
Kognitif Prasangka: Stereotip, Eksplisit, dan Implisit
- Stereotip:
Apa dan Bagaimana Stereotip Bekerja
Stereotip (stereotypes) adalah
kerangka berpikir kognitif yang terdiri dari pengetahuan dan keyakinan tentang
kelompok sosial tertentu dan traits tertentu yang mungkin dimiliki oleh orang
yang menjadi anggota-anggota kelompok ini. Dengan kata lain, stereotip
menyatakan bahwa setiap orang yang menjadi anggota kelompok sosial tertentu
memiliki trait-trait tertentu, setidaknya pada derajat tertentu.
- Stereotip
implisit: ketika keyakinan yang tidak kita sadari mempengaruhi tingkah
laku kita
- Mekanisme
Kognitif Lain dalam Prasangka
a. Ilusi tentang
hubungan yaitu kecenderungan melebih-lebihkan penilaian tingkah laku negatif
dalam kelompok yang relatif kecil. Efek ini terjadi karena peristiwa yang
jarang terjadi menjadikannya lebih menonjol dan dengan mudah diingat.
b. Ilusi homogenitas
out-group yaitu kecenderungan untuk mempersepsikan orang-orang dari kelompok
lain yang bukan kelompoknya sebagai orang yang serupa.
c. Perbedaan
in-group yaitu kecenderungan untuk menunjukan keragaman yang lebih besar satu
sama lain ( lebih heterogen ) daripada kelompok-kelompok lain.
C. Prasangka Berdasarkan Gender: Sifat Dasar dan
Dampaknya
Lebih dari setengah populasi dunia
adalah perempuan. Namun walaupun faktanya demikian, banyak budaya masih
memperlakukan wanita sebagai kelompok minoritas. Mereka tidak dilibatlkan dalam
kegiatan ekonomi dan politik; mereka telah menjadi korban stereotip negatif
yang kuat; dan mereka telah menghadapi diskriminasi yang jelas dalam berbagai aspek
kehidupan-ditempat kerja, pendidikan yang lebih tinggi, dan pemerintahan
(Fisher, 1992; Heilman, Block & Lucas, 1992).
- Seksisme
yang keras maupun yang halus: Dua Bentuk Prasangka Berdasarkan Gender
Istilah prasangka tampaknya
mengimplikasikan kebencian-ketika kita mengatakannya, dalam pembicaraan
sehari-hari bahwa seseorang berprasangka terhadap orang dalam kelompok
tertentu, hal ini akan mengimplikasikan bahwa mereka memiliki pandangan sangat
negatif terhadap kelompok tersebut. Hal yang serupa dengan seksisme, yang juga
menunjukkan dua wajah yang berbeda. Salah satunya dikenal sebagai seksisme yang penuh dengan kebencian (hostile sexsim)- pandangan bahwa
wanita, jika tidak inferior terhadap pria, memiliki trait negatif (contoh
mereka ingin diistimewakan, terlalu sensitif, atau ingin merebut kekuasaan dari
pria yang tidak sepantasnya mereka miliki. Pandangan lain, yang Glick dan
koleganya deskripsikan sebagai seksisme
bentuk halus (benevolent sexism)- pandanga
yang menyatakan bahwa wanita pantas dilindungi,lebi superior daripada pria
dalam banyak hal (contoh, mereka lebih murni, memiliki selera yang lebih baik).
Dan sangat diperlukan untuk kebahagiaan pria (contoh, tidak ada pria yang
benar-benar bahagia kecuali ia memiliki seoarang wanita yang ia puja dalam
hidupnya). Menurut Glick dan koleganya (2000), kedua bentuk seksisme itu
merefleksikan kenyataan bahwa pria telah lama memiliki posisi dominan dalam
kebanyakan masyarakat manusia.
Lebih jauh, seeperti yang telah
diduga, semakin tinggi kedua berntuk seksisme, semakin rendah kesetaraan gender
(dalam hubungannya dengan kehadiran wanita
dengan status pekerjaan, pendidikan, dan standart hidup yang tingggi.
Hal ini khususnya benar untuk tingkat
seksisme yang dimiliki oleh pria tetapi juga untuk wanita. Seperti yang di
sampaikan oleh Glick dan koleganya (2000), seksisme halus pun adalah sebuah
bentuk prasangka; hal tersebut juga dapat mempertahankan peran wanita sebagai
bawahan.
- Dasar
Kognitif Seksisme: Stereotip Gender dan Penghargaan yang Berbeda
Stereotif Gender adalah keyakinan
tentang karakteristik yang seharusnya yang dimiliki oleh wanita dan pria, dan
membedakan kedua gender satu sama lain. Stereotif-stereotif ini dibagi dua
gender dan berisi trait baik positif maupun negatif. Menariknya, stereotif gender
terhadap wanita sebenarnya tampak lebih baik daripada stereotif terhadap pria,
sebuah penelitian yang dideskripsikan oleh Egly dan Mladinic (1994) sebagai
efek “wanita adalah keindahan”. Walaupun demikian wanita menghadapi masalah
kunci: trai yang seharusnya mereka miliki, walaupun seringkali bersifat
positif, namun dipandang tidak pantas jika status atau posisinya tinggi
daripada trait yang dimiliki oleh pria. Hal ini menjadi hambatan penting bagi
kemajuan yang dibuat oleh wanita (contoh, Heliman, 1995)
Ada beberapa perbedaan antara pria dan
wanita dalam hubungannya dengan berbagai aspek tingkah laku, tetapi secara
umum, besaran perbedaan tersebut lebih kecil daripada yang digambarkan oleh stereotif gender (contoh, Betancourt
& Miller, 1996, Voyer, &Bryden, 1995). Stereotif Gender adalah bagian
yang yang penting bagi keberadaan seksisme, namun bukanlah faktor satu-satunya.
Jackson, Esses, dan Burris (2001) menyatakan bahwa variabel lain-yang tentunya
berbeda-juga penting. Secara khusus, baik wanita dan pria mengekspresikan
penghargaan yang lebih tinggi kepada pria.
Para peneliti memprediksikan bahwa
laki-laki akan menerima peringkat yang lebih tinggi dalam hubungannya dengan
rekomendasi pekerjaan dan penghargaan, dan secara umum, hal inilah yang terjadi
(walaupun hasilnya berbeda dalam berbagai penelitian). Ringkasnya, meskipun
stereotif gender berkontribusi pada keberadaan diskriminasi terhadap kaum
wanita, namun hal itu bukanlah satu-satunya penyebab. Perbedaan penghargaan
terhadap kedua gender, juga berkontribusi terhadap masalah yang terus
berkembang.
- Diskriminasi
Terhadap Perempuan: halus tapi sering kali mematikan
Saat ini diskriminasi berdasarkan
gender adalah sesuatu yang ilegal di berbagai negara. Hasilnya, bisnis ,
sekolah, dan organisasi sosial tidak lagi menolak pelamar pekerjaan atau tes
masuk hanya karena mereka wanita (atau pria). Meskipun demikian, wanita terus
menerun berada di posisi relatif yang tidak menguntungkan dalam masyarakat
tertentu. Kebanyakan wanita berada pada pekerjaan dengan status dan bayaran
yang rendah (Fisher, 1992) sekarang kita akan meninjau beberapa diantaranya.
·
Peran Harapan.
Satu faktor yang menentukan pergerakan
kaum perempuan melibatkan harapan mereka sendiri. Secara umum, wanita tampaknya
memiliki harapan lebih rendah terhadap karir mereka daripada laki-laki. Mereka
berharap menerima gaji awal dan gaji puncak yang lebih rendah (jackson,
Gardner, & Sullivan, 1992; Major & Konar, 1984). Hasil penelitian
(contoh, Jackson, Gardner, & Sullivan, 1992) mengindikasikan adanya
beberapa faktor yang berperan.
Pertama, perempuan
berharap memiliki waktu lebih luar pekerjaan. Hal ini cenderung menurunkan
harapan mereka untuk mendapatkan gaji paling tinggi. Kedua, wanita menyadari bahwa pada umumnya perempuan memiliki gaji
lebih kecil daripada laki-laki. Maka, harapan mereka yang lebih rendah hanya
merefleksikan pemahaman mereka akan kenyataan saat ini dan dampaknya terhadap
gaji mereka sendiri. Ketiga, seperti
yang telah kita pelajari sebelumnya, wanita cenderung mengekspresikan tingkat
bayaran yang lebih rendah sebagai sesuatu yang paling adil daripada laki-laki
(Jackson, Gardner, & Sullivan,
1992).
Akhirnya, dan mungkin hal yang paling
penting, wanita cenderung membandingkan diri mereka sendiri dengan wanita lain,
dan karena banyak contoh bahwa wanita
memperoleh gaji yang lebih kecil daripada pria, mereka menyimpulkan bahwa
memilik gaji yang rendah tidaklah buruk (Major,1993).
·
Peran Keyakinan Dan Persepsi Diri.
Keyakinan yang sering kali disebut,
adalah sebuah prediktor yang paling baik bagi kesuksesan. Orang yang berharaap
sukses sering kali sukses; mereka yang berpikiran akan gagal menemukan bahwa
duagaan tersebut menjadi kenyataan.
Alasan lain mengapa wanita kurang
percaya diri dalam konteks tertentu adalah mereka belajar, melalui pengalaman
pahit, bahwa taktik sukses pria seringkali menjadi bumerang bagi mereka.
Tidaklah mengherankan, bahwa kemudian wanita mengekspresikan rasa percaya diri
lebih rendah dalam berbagai situasi:
mereka diberi reward cukup
kuat untuk melakukan hal tersebut.
Kesimpulan
PRASANGKA adalah sebuah
sikap (biasanya negatif) terhadap anggota kelompok tertentu, semata berdasarkan
keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut (Baron dan Byren, 2003)
DISKRIMINASI adalah sebuah
wujud dari prasangka itu dalam bentuk tingkah laku atau aksi negatif terhadap
kelompok yang menjadi sasaran prasangka.
·
IMPLIKASI YANG
MEMPENGARUHI PRASANGKA
- Skema
- Sebuah sikap
·
PENYEBAB MUNCULNYA PRASANGKA
- untuk
meningkatkan citra diri / konsep diri / harga diri. Prasangka dapat
memainkan sebuah peran penting untuk melindungi atau meningkatkan konsep
diri mereka.
- menghemat
usaha kognitif. Ketika stereotif terbentuk, kita tidak perlu melakukan
proses berpikir yang hati-hati dan sistematis, karena kita sudah “tahu” seperti
apa anggota kelompok ini.
·
SUMBER-SUMBER
PRASANGKA
- Konflik
langsung antar kelompok ( berdasarkan teori konflik realistik)
- Pengalaman
awal ( berdasarkan teori pembelajaran sosial)
- Kategorisasi
sosial-kesalahan atribusi ( berdasarkan teori identitas diri)
- Sterotip
- Mekanisme
kognitif lain :
a.
Ilusi tentang hubungan
b.
Ilusi homogenitas out-group
c.
Perbedaan in-group
·
CARA MENGATASI
PRASANGKA
a. Memutuskan siklus
prasangka Kontak antar kelompok secara langsung
b. Kategorisasi
ulang
c. Intervensi
kognitif
d. Pengaruh sosial
e. Mengatasi
prasangka : bagaimana target bereaksi terhadap dogma
·
PRASANGKA
BERDASARKAN GENDER
a. Seksisme keras
dan halus
b. Dasar kognitif
seksisme
c. Diskriminasi
terhadap perempuan
Daftar Pustaka
[1]. Baron Robert A., Byrne Donn, Psikologi Sosial, (Jakarta:
Erlangga, …..), hlm. 213.
[2]. ……………., Psikologi Sosial, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2009), hlm. 221.
0 komentar:
Posting Komentar